Oleh : Ust. Martdiansyah, S.T.
Buletin Jumat Khoriul Kalam Edisi #6
Telah lazim kita mengetahui bahwa nikmat yang paling besar di antara nikmat-nikmat yang Allah SWT berikan kepada mahluknya adalah iman. Betapa tidak bahwa dengan keimanan inilah khususnya bagi manusia, menjadi sebuah kunci atas kebahagiaan baik kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan di akhirat tapi jangan salah memandang tentang makna kebahagiaan kerena yang dimaksud dari kebahagiaan ini adalah batiniah bukan dzhohiriah.
Secara dzhohiriah boleh jadi kebahagiaan itu diukur berdasarkan sesuatu yang dimiliki baik dari kemampuan fisik, kecerdasan pemikiran, harta benda, jabatan, kekuasaan dan lain-lain tetapi secara batiniah kepemilikan akan sesuatu bukan menjadi ukurannya. Sebut saja harta yang mana dengan itu berbagai barang, tempat, makanan, minuman dan berbagai kenikmatan dunia yang lainnya bisa didapatkan. Namun demikian, belum tentu itu menjadi penyebab tentramnya hati atau pangkat derajat yang tinggi sehingga senantiasa menerima perlakuan khusus dari kaumnya dan belum tentu hal tersebut menjadi penyebab tentramnya hati. Memang, boleh jadi jika dipandang dari segi keunggulan dzhohiriah dapat terdefinisikan bahwa seseorang itu telah bahagia dan boleh jadi juga seseorang yang bersangkutan merasakan kesenangan sehingga mengakuai bahwa dirinya bahagia namun demikian sesampainya disini kami masih ingin memperdalam lagi pembasan yaitu dengan mengaitkan masalah kebahagiaan pada satu unsur yang ada di dalam hati yang disebut nafsu.
Nafsu ini bisa bersifat positif atau negatif, kita tinjau dari segi negatifnya kerena inilah sumber tipu daya terbesar, bayangkan saja setan laknatullah benar-benar menjadikan unsur ini sebagai kediamannya untuk menyesatkan manusia. Nafsu itu bisa kita umpamakan seperti kobaran api panas yang membakar dan memanaskan mendorong manusia untuk melakukan berbagai hal. Kobaran api nan panas ini seakan-akan meminta untuk disejukkan yaitu dengan cara memenuhi apa yang di inginkan dan bila telah terpenuhi dia akan menyejuk sesaat lalu memanas kembali dan bagi si pemilik nafsu tersebut harus melakukan keinginan nafsunya agar membuatnya sejuk kembali dan beginilah kira-kira gambaran dari perputaran nafsu yang di dalam diri terus-menerus silih berganti seperti ini dan pada akhirnya hal tersebut akan menyerang dua yang sangat vital yaitu sifat dan kebiasaan. Maka, jika dua bagian ini telah terbakar, sulit bagi seorang manusia untuk mengetahui hakekat dari kebahagiaan justru bagi dia seluruh kehidupan ini adalah kebahagiaan yaitu dengan memenuhi gejolak nafsu.
Dalam lingkungan pesantren akan mengenal kita kepada budaya, fadilah-fadilah, amalan-amalan dari ajaran agama islam yang pastinya jika dilaksanakan akan berpengaruh kepada kadar iman. Disini kita kaitkan hal itu dengan bulan rajab. Alhamdulillah atas kesehatan dan usia yang Allah swt. berikan kepada kita sekalian bertemu dengan salah satu bulan yang mulia diantara bulan-bulan lainnya.
Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah shalallahu ‘alahi wassalam memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan
Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).
Maka khusus kepada santri dan umumnya semua ummat muslimin mari kita meningkatkan diri dengan
memperbanyak amalal ibadah, doa-doa, serta banyak ihtisabunnafsi maka semoga kelak kita akan memiliki kualitas iman yang baik sebab tidak ada penghancur bagi manusia kecuali nafsunya dan tidak ada penangkalnya kecuali keimanan.
Seberat-beratnya perjuangan adalah yang paling berat memperjuangkan keimanan setiap manusia pasti
merasakan penderitaan ataupun luka-luka dalam hati tetapi sangat berbeda bagi orang menderita dan terluka dalam keimanannya, Allah swt. tentunya memberikan harga yang berlipat-lipat pada hamba yang kesakitan dalam keimanannya.
Waallahu a’lamu bisshowaab.
No responses yet