Oleh : Drs. KH. Anwar Nuryamin
“Amal-amal itu merupakan kerangka yang tegak (mati tidak bergerak), dan ruhnya ialah rahasia keikhlasan yang ada di dalamnya” (Ibnu Athaillâh)
Diantara tantangan hidup yang paling berat kita rasakan saat ini, adalah terjadinya pergeseran nilai yang sangat jauh. Yang disebut baik pada hari ini, jangankan baik menurut agama, baik menurut akal sehat pun sudah sulit ditemukan. Sebab, yang disebut baik sekarang ini, ukurannya bukan lagi agama dan akal sehat, tetapi tergantung pada opini publik atau penilaian orang banyak. Bahkan ada kecenderungan yang disebut baik sekarang ini adalah baik menurut media. Tak heran jika pola pikir dan pola hidup sebagian orang cenderung berasumsi bahwa menjadi orang jujur akan hancur, menjadi orang baik akan semakin tersisihkan, menjadi orang yang tulus dan ikhlas akan semakin tidak punya tempat dan kian terpinggirkan di pojok-pojok kehidupan. Benarkah demikian?
Tak aneh lagi, dalam situasi kehidupan yang demikian, budaya kebohongan, kepalsuan, kepura-puraan, dan manipulasi semakin tumbuh subur dan berkembang. Kebaikan hanya sekedar menjadi slogan yang dibungkus dengan kata-kata, sedangkan isinya boleh jadi kebusukan dan kemunafikan. Agama tidak dijadikan sebagai tuntunan, apa lagi dijadikan pandangan dan pegangan hidup, tetapi hanya dijadikan sebagai tontonan. Seruan dakwah bukan lagi untuk mengajak manusia ke jalan Tuhan, tetapi mengajak manusia supaya membesarkan diri dan popularitas para penyerunya.
Dalam kondisi masyarakat yang sakit seperti ini, banyak orang berani mengekpresikan dirinya ketika melakukan keburukan dan kesesatan, dan sedikit sekali orang berani dan percaya diri menyampaikan kebenaran. Sebab, resikonya sudah pasti tidak akan disukai oleh banyak orang, atau minimal akan dijauhi oleh sebagian orang. Semoga saya (penulis) termasuk yang sedikit itu. Karena saya amat yakin bahwa orang berani mengatakan kebenaran dengan cara yang baik (qoulan sadîdan), sedikitnya akan mendapatkan tiga keutamaan dari Allah, pertama dibimbing oleh Allah untuk memperbaiki amal dan perilaku hidupnya, kedua akan diampuni seluruh dosa-dosanya, dan ketiga dia telah membuktikan loyalitas dan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia berhak mendapatkan kesuksesan besar baik di dunia maupun di akhirat (QS. Al-Ahzab/33:70). Walhasil, diantara tanda-tanda akhir zaman, kebanyakan manusia lebih takut dibenci oleh sesama manusia dan sedikit manusia yang takut dimurkai oleh Allah. Na’udzu billâh tsumma na’udzu billâh.
Orientasi Hidup Seorang Mukmin
Bagi seorang mukmin, berupaya keras meraih kebahagiaan dunia akhirat menjadi orientasi dalam kehidupnya. Namun, ketika realita kehidupan tidak menguntungkan bahkan cenderung merugikan, maka seorang mukmin harus sedikit mengubah arah dan haluan jalan hidupnya, yakni berupaya lebih fokus untuk menyelamatkan masa depan. Bukan mengorbankan masa depan demi masa kini, tetapi mengorbankan masa kini demi masa depan. Inilah salah satu dimensi dari makna sabar, yakni mengorbankan kesenangan yang sesaat demi kesenangan yang abadi. Rasulullah saw. tidak merasakan kesedihan yang amat serius ketika dikucilkan oleh sebagian orang, terutama oleh orang-orang yang phobi dan antipati terhadap seruan dakwah dan kiprah perjuangannya. Ia merasakan kesedihan yang amat sangat mendalam, ketika merasa ditinggalkan oleh Tuhannya, misalnya ketika kurang lebih selama lima belas hari tidak mendapatkan kiriman wahyu dari Tuhan melalui Malaikat Jibril as. Beliau berusaha bertanya dan terus bertanya pada dirinya, bahkan dalam sebuah riwayat berusaha mencari tahu hingga kembali ke Gua Hiro, untuk memperoleh jawaban, apa kira-kira kesalahan diri terhadap Tuhannya, yang menyebabkan Dia benci dan menelantarkan dirinya. Barulah beliau benar-benar merasa lega dan lepas dari himpitan kesedihan dan rasa bersalahnya, setelah Tuhan meyakinkan dan memberikan jaminan kepadanya dengan menurunkan firman-Nya:
“Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. Dan Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan). Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (QS. Adh-dhuha/93:1-5).
Setelah turun ayat-ayat tersebut, Nabi saw. semakin yakin akan pilihan sikap dan jalan hidup serta perjuangannya. Hingga setelah itu beliau menganggap betapa pun nikmatnya dunia ini, baginya tidak lebih hanyalah laksana sebatang pohon rindang tempat berteduh para pengelana untuk singgah dan pergi. Setelah turun ayat walasaufa yu’thîka Robbuka fa tardhâ, Nabi saw. seakan-akan telah melihat dengan jelas kehidupan yang sangat jauh lebih baik dan lebih indah di masa depan, yaitu berupa kemenangan demi kemenangan dalam perjuangan meninggikan Agamanya di dunia, dan kenikmatan demi kenikmatan yang abadi di akhirat, yaitu berupa pahala surga yang tiada tara berikut telaga al-kautsar tempat melimpah ruahnya segala kenikmatan surgawi.
Nilai Sebuah Amal Tergantung pada Niatnya
Di permulaan tulisan ini telah dikemukakan bahwa tantangan hidup terberat bagi orang serius memikirkan makna dan tujuan hidup saat ini adalah menghadapi pergeseran nilai dalam hidup. Akibat dari pergeseran nilai tersebut, maka kebanyakan manusia lebih bangga dan lebih respek melihat gaya dan penampilan hidup. Ukuran kesuksesan pun tidak lagi dilihat dari niat dan ketulusan serta jerih payahnya sebuah perjuangan, tetapi lebih dilihat dari keberhasilan seseorang dalam mengumpulkan materi kekayaan, menduduki sebuah jabatan atau kekuasaan, atau popularitas. Terkadang niat dan proses tidak menjadi penilaian utama yang penting hasilnya. Singkat kata, orientasi utamanya adalah prestise bukan prestasi. Dalam ajaran Islam yang kita anut, betapapun megahnya sebuah prestise, bahkan betapapun hebatnya sebuah prestasi, tidak bernilai apa-apa, NOL BESAR di hadapan Tuhan, jika tidak dilandasi dengan niat yang baik dan cara yang benar. Sebaliknya, betapapun kecil dan sederhananya sebuah amal akan sangat berarti di hadapan Tuhan, kalau dilandasi dengan niat yang baik dan cara yang benar. Niat yang baik dalam pandangan Islam adalah niat yang ikhlas, sedangkan cara yang benar adalah cara yang sesuai, atau minimal tidak bertentangan dengan tuntunan syariat dan ajaran Islam.
Ikhlas dalam beramal sesungguhnya merupakan ciri utama benarnya aqidah seorang muslim dalam mentauhidkan Allah swt. Dengan kata lain, benar tidaknya ketauhidan seorang muslim dapat dilihat dari keikhlasannya dalam beribadah dan beramal shaleh. Sehingga jika ibadah dan amal shalehnya, masih terindikasi oleh dorongan atau motif lain, misalnya karena didasari oleh kepentingan pribadi atau golongan, atau karena mengharapkan penghargaan dari orang lain, berarti ada kekacauan dalam keimanannya. Itulah sebabnya, Allah swt. mempertanyakan ketulusan dan keikhlasan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab−dalam hal ini kaum Yahudi dan Nasrani−dan orang-orang musyrikin Makkah, untuk meninggalkan agama dan keyakinan mereka dan bersedia menerima dengan sepenuh hati kenabian Rasulullah Muhammad saw., hingga didatangkan kepada mereka bukti yang nyata (al-bayyinah), yaitu datang seorang Rasul, yakni Nabi Muhammad saw. yang membacakan secara langsung kepada mereka lembaran-lembaran suci dan disucikan (QS. Al-Bayyinah/98:1-2), yakni kitab suci Al-Quran, yang bersih dari segala bentuk kebatilan, kebohongan, dan keburukan. Di dalamnya murni berisi ajaran-ajaran kebenaran yang hakiki. Ibarat sumber mata air yang masih sangat bersih dan murni, belum tercampuri oleh sesuatu apa pun yang bersumber dari Dzat Yang Maha Suci.
Contoh sahabat Nabi yang telah membuktikan kejujuran dan keikhlasan seperti ini adalah Abdullah bin Salam ra. Dalam konteks inilah, agaknya Allah swt. berfirman dalam Al-Quran:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah/98:5)
Dalam ayat tersebut, terdapat sebuah kata kunci yang harus dipahami dengan baik, yaitu kata liya’budû, yang secara harfiah sering diartikan supaya mereka beribadah. Di beberapa tempat dalam Al-Quran, kata liya’budû dijadikan sebagai seruan pertama dan utama hampir oleh semua Nabi as.. Ibnu Abbas ra. mengartikan kata liya’budû hampir dalam setiap tempat dalam Al-Quran dengan liyuwahhidû yang berarti supaya mereka mentauhidkan. Pada ayat tersebut di atas sesudah kata liya’budû Allâh lalu diikuti dengan kata mukhlishîn lahuddîn, yang berati supaya mereka memurnikan ibadahnya semata-mata untuk tujuan ibadah. Itu berarti, semakin memperjelas adanya korelasi yang sangat kuat antara ketauhidan dengan keikhlasan. Sehingga kita dapat berkata, tiada keikhlasan tanpa ketauhidan, dan tiada ketauhidan tanpa keikhlasan. Bahkan semakin mantap ketauhidan seorang mukmin akan semakin murni keikhlasannya dalam beramal.
Seseorang yang ikhlas dalam beramal akan tangguh dan survive dalam mengarungi bahtera hidup dan kehidupan ini. Apapun situasi perjalanan hidup yang dilaluinya, akan selalu cenderung kepada kebenaran dan kebaikan. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan, teu lundut kalinduan teu gedag kaanginan. Seperti tangguhnya para Rasul ulul azmi, seperti Ibrahim as., seperti Rasulullah saw. Mengapa demikian? Karena ia memiliki sandaran vertikal yang sangat kuat kepada Allah, dan semakin berkurang kebergantungannya kepada sesama makhluk. Ketika seseorang semakin bergantung dan berharap kepada makhluk maka ia akan semakin kecewa dan menderita dalam hidup.
No responses yet