fauzi noerwenda

Fauzi Noerwenda : Jejak Perjalanan Memburu Hidayah

Masa lalu yang kita lewati kini hanya menjadi sebuah kenangan. Masa depan kelak kita nanti adalah sebuah misteri. Maka sudah sewajarnya kita melakukan yang terbaik pada hari ini agar misteri kita di masa datang menjadi penuh kerinduan.

Alhamdulillah hari ini Allah masih mengizinkan saya untuk berbagi sebuah tulisan tentang keajaiban dari bagian kehidupan yang saya lewati. Tulisan yang kawan-kawan baca bisa selesai karena Allah mudahkan jari ini mengetik lincah di keyboard, pikiran berpikir dengan santai dan hati mengeluarkan perasaan dengan penuh ketulusan. Harapannya semoga tulisan ini hadir bukan sekedar untuk syarat ujian semata, namun juga akan menjadi sebuah ilmu yang memberikan kisah hikmah.

Perkenalkan saya seorang makhluk ciptaan Allah yang dilahirkan 22 tahun yang lalu tepatnya 25 November 1991 di sebuah kampung nan indah bernama Gunung Goong yang terletak di wilayah Kabupaten Sukabumi. Perjalanan hidup yang sudah saya lewati begitu penuh warna-warni, puncaknya saat untuk pertama kalinya tahun 2010 saya harus merantau ke Bandung guna melanjutkan studi di salah satu kampus ekonomi bernama STIE EKUITAS Bandung.

Perantauan saya ke Bandung pada awalnya berjalan sangat mulus hingga memasuki tahun kedua kuliah saya terjebak dengan pergaulan buruk di kota yang terkenal dengan fashionnya tersebut. Saya benar-benar merasakan jatuh yang teramat dalam, jauh dari Allah, hati merasa hampa dan arah tujuan sangat begitu gelap. Sungguh sedih jika harus kembali mengingat momen tersebut. Semoga Allah mengampuni semua dosa-dosa yang sudah saya lewati.

Pelangi tidak akan pernah hadir jika sebelumnya tak ada hujan turun membasahi bumi ini. Entah kenapa ditengah kerisauan saya, ada sebuah harapan bahwa saya bisa berubah dan menjadi pribadi yang lebih baik. Hal tersebut memang tidak membutuhkan waktu lama, hingga suatu ketika saya bertemu dengan kaka angkatan di kampus bernama Kang Gilang. Pertemuan saya dengan Kang Gilang akhirnya memperkenalkan saya dengan sebuah pesantren bernama Pondok Pesantren Mahasiswa Miftahul Khoir Bandung. Sejak pertemuan itu pikiran saya terus membayangkan apa jadinya kalo kelak saya nyantri. Padahal saat saya kecil engga rasanya untuk pesantren. Yang saya pikirkan tentang pesantren itu jorok, kotor, mandinya ngantri, makannya ngantri terus gak bebas ngapa-ngapain. Wah pokoknya nggak bangetlah. Kesan itu pula yang akhirnya hadir untuk Miftahul Khoir.

Seiring berjalannya waktu, ketakutan saya makin menjadi tatkala saya sulit untuk mengalahkan nafsu yang terus menggerogoti diri yang lemah ini. Entah bisikan darimana, namun pesantren mahasiswa itu seakan memanggil. Hingga akhirnya saya putuskan untuk survey terlebih dahulu melihat kondisi disana. Ketika itu saya pergi berdua bersama teman saya Kang Yudi. “Bagaikan bangun dari mimpi buruk”. Sebuah frase yang ingin saya ungkapkan tentang pesantren. Dulu anggapan saya pesantren itu jorok, kotor dan lainnya. Ternyata pas saya melihat MIMKHO, semuanya benar-benar berbeda. MIMKHO itu rapi, bersih, sejuk dan benar-benar sangat nyaman. Sebuah alasan yang cukup kuat agar saya segera mondok di MIMKHO.

Pasca survey dari Miftahul Khoir, saya terus terngiang kata-kata dari Kang Rendy bahwa hidayah Allah itu selalu ada, hanya saja kita tidak peka dengan hidayah tersebut. Sambil meyakinkan diri ini, akhirnya saya memang mantap untuk pesantren. Walaupun kala itu saya masih aktif dengan berbagai macam kegiatan diluar, namun tetap saya putuskan untuk pesantren. Urusan kesibukan nanti bisa diatur dan disesuaikan saja. Mumpung ada “hidayah”, saya harus segera ambil atau hidayah tersebut akan melayang begitu saja.

Akhirnya pada bulan Agustus 2012 yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, saya pun pindah dan resmi mulai belajar jadi santri. Inilah kisah awal mula pelangi dalam kehidupan saya hadir. Inilah pula yang menjadi awal baru kehidupan saya menjadi seorang santri. Jujur, semuanya memang butuh perjuangan. Tak mudah untuk membagi waktu antara menjadi santri, mahasiswa, organisatoris dan lainnya. Alhasil dapat ditebak, satu tahun pertama saya nyantri itu gak bener. Dari semua santri, ternyata absen bolos saya paling banyak. Sungguh memalukan! Ada dua kemungkinan yang kala itu bisa saja terjadi. Apakah saya keluar dari pesantren dan memilih aktif di luar atau mencoba untuk menyesuaikan diri agar bisa jadi santri.

Namun niat baik yang sudah tertancap kuat tak bisa lagi tergoyahkan. Saya akan tetap nyantri dan terus memperbaiki diri agar senantiasa mendapat ridho Allah. Alhamdulillah dengan proses yang sangat panjang, saya mulai bisa menyesuaikan dan fokus untuk pesantren. Di akhir 2013 saya mulai memperbaiki jadwal dan benar-benar ingin takdzhim ke pesantren. Malu rasanya setahun mondok tapi cuman numpang tidur doang. Beban itu terasa sekali di pundak. Maka kembali saya luruskan niat dan Alhamdulillah sejak saat itu Allah berikan jalannya. Perlahan kegiatan saya diluar selesai dan mulai bisa mencintai apa yang seharusnya saya cintai. Lantas setelah kini hampir satu setengah tahun saya nyantri, apa saja yang sudah saya dapatkan? Jujur, hal tersebut tak cukup diceritakan hanya dengan lembaran kertas. Terlalu banyak anugerah yang sudah Allah berikan pada saya sejak jadi santri. Hanya saja, saya akan ceritakan perubahan yang menurut saya paling besar.

Pertama tentunya tentang diri. Sejak jadi santri, Alhamdulillah saya bisa memperbaiki ibadah saya. Di mimkho inilah saya belajar istiqomah untuk sholat berjamaah, tilawah, qiyamul lail, shaum sunat dan lainnya. Sungguh lezatnya ibadah itu benar-benar saya rasakan. Saking lezatnya, tak mampu lagi saya berkata-kata, silahkan saja rasakan sendiri. Saya hanya bisa bersyukur.

Kedua tentang orang tua. Sejak kecil hingga kuliah, saya dan keluarga cenderung tertutup. Untuk cerita pun rasanya malu. Bahkan untuk liburan bersama sengaja bareng keluarga itu belum pernah, apalagi foto bersama, sampe sekarang belum ada foto keluarga terpampang di rumah saya. Hal tersebut bagi saya adalah sebuah masalah. Ingin rasanya saya menjadi anak yang berbakti, anak yang mampu terbuka dan selalu cerita dengan kedua orang tua. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana caranya agar saya tahu dan bisa dekat dengan keluarga? Pertanyaan tersebut terjawab tatkala suatu malam saya dan teman sekamar saya Prastiko bercerita tentang orang tua. Sejak saat itu saya makin menyadari letak kesalahan saya. Puncaknya saat saya membaca buku Ada Surga Di Rumahku karya Ustadz Ali Al Habsi, sungguh ada sebuah penyesalan mendalam yang saya rasakan. Sejak saat itulah saya niatkan untuk mulai terbuka dengan orang tua. Pesantren memberikan saya jawaban. Pesantren memberikan sebuah hal yang selama ini saya cari. Ya semua berasal dari Allah dengan wasilah pesantren. Sejujurnya jika membahas manfaat masih banyak yang belum saya utarakan. Doakan saja, Insya Allah di bulan syawal saya akan menggarap buku kedua tentang pesantren.

Alhamdulillah memasuki fase terakhir tentang sebuah harapan yang akan saya hujamkan untuk diri saya dan juga untuk Miftahul Khoir tercinta. Sejujurnya harapan saya sederhana. Saya hanya ingin menjadi seorang muslim yang istiqomah dalam beribadah. Mampu menjadi seorang muslim yang berguna di masyarakat baik untuk urusan dunia maupun akhirat. Ada lagi sebetulnya yang khusus, saya ingin sekali bisa melantunkan ayat al-qur’an dengan merdu dan benar sehingga bisa menjadi imam sholat serta mengajarkan kembali pada anak-anak di kampung kelak. Sebetulnya masih banyak sih, hanya saja itu yang paling spesifik, paling permintaan yang kadang keluarga pinta yaitu bisa mimpin tahlilan. Semoga bertahap saya bisa belajar dan mengamalkannya.

Jika bicara peran dan harapan untuk pesantren, sejujurnya saya agak bingung. Apa yang bisa saya kontribusikan? Ngaji kitab aja belum bisa. Maka saya hanya bisa melakukan apa yang bisa saya lakukan. Saya niatkan untuk takdzhim ke pesantren dengan cara menyebar luaskan info tentang MIMKHO. Salah satu caranya dengan menulis sebuah buku tentang pesantren. Doakan saja syawal nanti saya akan melanjutkan tulisan tentang pesantren. Semoga walau hanya sebuah buku, namun mampu membuat banyak orang tertarik untuk pesantren.

Alhamdulillah sampai juga di penghujung tulisan. Itu saja curahan hati saya kali ini. Semoga bermanfaat dan menjadi hikmah bagi kita semua.
Wallahu’alam ^_^

disalin dari : http://edukasi.kompasiana.com/2014/06/16/jejak-perjalanan-memburu-hidayah-666964.html

Categories:

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tweet oleh @mimkho_PPM
× Ada yang bisa kami bantu?