Zuhud adalah salah satu cara untuk mengistiqamahkan diri. Sedangkan istiqamah adalah syarat untuk bisa meraih makrifat.
Orang yang sudah istiqamah belum tentu bisa makrifat. Setiap makrifat adalah hasil dari istiqamah, tetapi tidak setiap istiqamah membuahkan makrifat. Orang yang makrifat tanpa disertai istiqamah dinamakan Dhalalah, yakni makrifatnya orang Zindiq. Akan tetapi, sumbernya jelas, yaitu zuhud. Zuhud adalah kedekatan hati kepada Allah, benar-benar percaya kepada-Nya, dan tidak ada lagi tempat untuk bergantung kecuali Allah.
Dalam kebiasann orang Sunda, zuhud berarti sebagai bertapa (semedi), tetapi bukan semedi seperti dalam kebiasann orang Hindu. Sebab, dalam tradisi agama Hindu, semedi berarti menghentikan makan, minum, dan tempatnya pun harus jauh dari keramaian orang. Bahkan, orang Belanda memopulerkan semedi jenis ini. Mereka melakukannya untuk mengeruk keuntungan dari negara kita.
Adapun zuhud dalam pengertian Islam sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Zainuddin Al-Maliberi dalam gubahan syairnya:
“Berzuhudlah kalian,
kosongkan hati dari kepentingan dunia,
bukan mengosongkan yang dicela.”
Dari syair ini, kita tahu bahwa pengertian zuhud adalah melepaskan hati dan pikiran dari urusan dunia. Akan tetapi, bukan berarti kita tidak boleh memiliki harta kekayaan, tetapi harta tersebut tidak boleh disimpan dalam hati. Zuhud harus selalu dibarengi sikap tawakal karena zuhud tidak akan benar jika tidak disertai tawakal.
Zuhud adalah masalah jiwa, bukan masalah fisik. Pekerjaan fisik itu adalah aktivitas anggota badan, sedangkan zuhud merupakan pekerjaan ruhani (hati). Dengan demikian, zuhud tidak boleh mengurangi aktivitas fisik. Begitu pula aktivitas fisik tidak boleh mengurangi zuhud. Orang yang sedang bekerja tidak berarti ia tidak zuhud. Begitu pula orang yang tidak bekerja dan hanya berdiam diri, tidak berarti ia orang zuhud.
Ada atau tidaknya aktivitas fisik tidak menandakan ada atau tidak adanya zuhud dalam hati.
Zuhud terbagi pada empat bagian, yaitu:
- Membulatkan keyakinan kepada Allah dalam masalah rezeki dan kehidupan. Hati meyakini bahwa yang menghidupkan dan memberi kehidupan hanyalah Allah. Tidak ada seorang pun manusia yang dapat memberikan rezeki. Majikan atau pun orang tua tidak bisa memberi rezeki kepada kita. Mereka hanyalah perantara. Allah memberi rezeki kepada kita melalui orangtua, majikan, pekerjaan, dan sebagainya.Oleh karena itu, pekerjaan yang menumpuk jangan sampai mengurangi kebergantungan kita kepada Allah. kesulitan yang dihadapi dalam pekerjaan jangan sampai mengganggu kebergantungan, zuhud, dan tawakal kita kepada-Nya.
- Tidak menyandarkan hidup kepada makhluk walau sehelai rambut pun dalam masalah rezeki dan nasib. Zuhud seperti ini memiliki kaitan erat (talazum) dengan yang pertama. Perbedaannya, jika yang pertama itu khusus dalam masalah rezeki, yang kedua itu, selain berkenaan dengan masalah rezeki, ia juga dalam mencakup masalah nasib.Artinya, kita meyakini bahwa nasib ada di tangan Allah. Kita hidup karena dihidupkan oleh Allah. Kita bergerak karena digerakkan oleh Allah. Baik buruknya suatu peristiwa tidak sampai mengurangi sikap tawakal dan zuhud kita kepada Allah. Hati dan jiwa kita yakin bahwa segala peristiwa yang menimpa diri kita merupakan kehendak dan skenario Allah. Tidak ada satu pun takdir yang menyalahi kehendak-Nya.
- Zuhud tertinggi adalah ketika kita tidak disibukkan oleh makhluk. Tidak ada satu pun makhluk yang mampu menghalangi dirinya dari berzikir. Bukan saja menerima takdir dan tidak bersandar pada makhluk, tetapi juga tidak menjadikan makhluk sebagai halangan untuk zikir dan ibadah kepada Allah. Zuhud seperti ini adalah zuhud kaum `arifin.
- Mempersembahkan kecintaan hanya untuk Allah semata. Zuhud ini adalah zuhud Washilin, yaitu zuhud yang bukan sekadar menghilangkan tempat sandaran kepada makhluk, tetapi dirinya telah terpaut kepada Allah. Sesuatu yang membuat dirinya senang dan bahagia adalah bertemunya rasa dengan Zat Yang Mahakuasa. Makhluk sudah tidak lagi diperhatikan karena ia tidak memberikan peluang untuk makhluk mana pun di dalam hatinya.
Menurut Imam A-Ghazali, zuhud adalah jika seseorang tidak merasa bahagia dengan adanya dunia, dan tidak merasa prihatin ketika tidak ada kesenangan dunia. Akan tetapi, sebaliknya, kita harus merasa prihatin kalau memiliki dunia, karena dikhawatirkan kita tidak mampu menggunakannya untuk sesuatu yang sesuai dengan kehendak Allah. Kita harus merasa bahagia ketika kita tidak memiliki dunia, karena dunia merupakan anugerah yang manis dari Allah yang sulit kita syukuri. Kebanyakan orang tidak merasakan bahwa dunia merupakan cobaan dari Allah.
Orang yang ingin sampai pada makrifat ia harus mengusahakan dirinya agar menjadi orang zuhud. Akan tetapi, bukan sekedar zuhud jenis pertama, yaitu hati tidak terkait pada dunia. Minimal, kita harus mengusahakan zuhud jenis kedua, yaitu tidak menyandarkan diri kepada makhluk dalam masalah rezeki dan nasib. Hatinya senantiasa bergantung kepada Allah dan ia meyakini bahwa segala peristiwa yang menimpa dirinya tidak keluar dari ketentuan Allah.
Ada banyak godaan dalam melaksanakan zuhud. Ketika kita memiliki usaha mapan, sawah yang luas, peluang untuk mendapatkan uang semakin banyak, dagangan laku, hasil panen melimpah, maka pada saat itu hilang kendali istiqamah. Sikap zuhud lenyap dan makrifat pun sirna, sehingga hati berbelok kepada hal-hal keduniawian.
Oleh karena itu, anjuran bagi pebisnis, agar hati-hati dan jangan sampai luput dari zuhud kepada Allah. Dengan banyaknya keuntungan yang didapatkan, itu adalah ujian yang manis. Lalu, apakah zuhudnya akan kuat dengan menerima cobaan tersebut, ataukah akan terlena?[]
Dikutip dari buku : La Tahzan (Innallaha Ma`ana) – KH. Choer Affandi hal 39-44
No responses yet