Allah Swt. telah membuat aturan untuk menata hati dan perilaku manusia. Aturan itu dikenal dengan istilah Haqiqah (hakikat), Syari`ah (jalan atau cara), dan Adab (sopan santun). Sebagai hamba-Nya, kita harus pandai menempatkan ketiga aturan tersebut sesuai dengan ketetapan Allah Swt. Jika salah menempatkannya, kita hanya akan mendapatkan celaka.
Hakikat
Hakikat termasuk urusan hati, yaitu kita wajib memercayai dan meyakini sampai menembus rasa bahwa segala sesuatu yang terjadi, baik atau buruk, semuanya itu bersumber dari Allah Swt.
Katakanlah,Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dia-lah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” (QS Al-Taubah [9]:51).
Lafal Huwa maulana (Pelindung kami) mengandung arti bahwa kita harus meyakini Allah sebagai Tuhan yang telah menciptakan dan menghidupkan kita. Bentuk kita memper-Tuhan-kan kepada Allah Swt. adalah dengan menyerahkan segala urusan kepada-Nya, sebagaimana tertera di akhir ayat tersebut.
Adapun realisasi dari sikap tawakal adalah sebagai berikut:
- Mensyukuri dan menerima pemberian (rezeki) dari Allah Swt. dengan tawadhu. Artinya, merasa diri tidak layak menerima pemberian tersebut. Allah Swt. berfirman:
Ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh dan yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberikan kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” (QS Al-Ahqaf [46]:15). - Menerima dengan lapang dada setiap musibah yang menimpa diri, dengan disertai permohonan ampun (Istiqfar) dari Allah Swt. Kita harus yakin bahwa musibah itu datangnya dari Allah Swt.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS Al-Ra`ad [13]:11)
Allah akan menimpakan musibah ketika kita berada di jalan kesesatan atau berbuat kesalahan. Musibah adalah salah satu bentuk peringatan dari Allah agar kita kembali ke jalan-Nya. Kita harus selalu menghadapinya dengan kesabaran, introspeksi diri, istiqfar, dan tobat kepada Allah.
Orang yang tidak menyadari nikmat Allah Swt. akan memunculkan perasaan ujub pada dirinya. Kenikmatan (rezeki) yang diperoleh dianggap sebagai hasil jerih payah sendiri. Sifat ujub akan menghilangkan dan menghapus amal saleh. Ia juga akan menimbulkan rasa sombong dan merasa diri lebih unggul dari pada orang lain.
Begitu pula ketika ditimpa musibah, alih-alih bersabar dan memohon ampun kepada Allah, malah terus-menerus menggerutu, berputus asa, berkeluh kesah, dan tidak mau berintrospeksi diri.
Syariat
Yang dimaksudkan syariat adalah pekerjaan yang harus diusahakan. Orang yang tidak menanam, tentu tidak akan memanen. Artinya, jika tidak berusaha, kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Baik buruk hasil yang diperoleh bergantung pada usaha kita sendiri.
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatannya) yang diusahakannya. (QS Al-Baqarah [2]: 286)
Allah Swt. menganugerahkan akal kepada manusia sebagai alat untuk mendapatkan sesuatu. Dengan akal, manusia dapat memilih jalan yang benar dan jalan yang salah. Selain itu, akal juga dapat memprediksi untung dan rugi, serta mempertimbangkan baik dan buruk suatu perbuatan.
Dalam aplikasinya, kita jangan sampai keliru menempatkan hakikat dan syariat. Apabila hakikat -yang seharusnya menjadi keyakinan- diamalkan dalam bentuk syariat (pekerjaan lahir), orang yang mengamalkannya akan dikategorikan sebagai kafir Jabbariyah. Begitu pula jika syariat dikerjakan pada tempat hakikat, orang yang mengamalkannya akan menjadi kafir Qadariyah. Adapun Ahlu Sunnah Wal Jama`ah berada di antara Qadariyyah dan Jabbariyyah, yakni menempatkan amal dalam syariat dan keyakinan (iman) dalam hakikat.
Adab
Adab adalah tata krama dan kesopanan dalam berbicara. Artinya, mengembalikan setiap kenikmatan yang kita peroleh kepada Allah Swt. dan menyadari bahwa setiap musibah yang menimpa diri kita disebabkan oleh kesalahan kita sendiri.
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. (QS Al-Nisa` [4]: 79)
Menurut ulama Suluk (etika), kita tidak boleh mengakui kebaikan orang lain sebagai kebaikan kita, dan jangan menimpakan kesalahan kita kepada orang lain. Artinya, ketika kita memperoleh kenikmatan, kita tidak boleh mengklaimnya sebagai hasil jerih payah sendiri. Ketika bencana datang, kita jangan menyalahkan orang lain, apalagi menyalahkan Allah Swt. Langkah yang harus kita lakukan adalah melakukan introspeksi diri karena musibah itu datang akibat dari keteledoran kita dalam berusaha dan beribadah kepada Allah Swt. Oleh karena itu, Allah Swt. memberi peringatan kepada kita dengan jalan menimpakan musibah.[]
Dikutip dari buku : La Tahzan (Innallaha Ma`ana) – KH. Choer Affandi hal 51-55
No responses yet