Terdapat kejadian yang sangat penting di akhir bulan Rajab yaitu peristiwa Isra’ dan Mi’raj nabi agung Muhammad saw, yang merupakan mu’jizat terbesar yang Allah SWT berikan kepada beliau saw setelah Al-Quran. Terdapat perbedaan pendapat berkenaan dengan terjadinya peristiwa ini, apakah pada tahun kesepuluh kenabian atau sesudahnya? Menurut riwayat Ibnu Sa’ad peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi delapan belas bulan sebelum hijrah, dan peristiwa tersebut merupakan persiapan bagi umat Islam untuk menyongsong hijrah ke Madinah. Tahun tersebut juga dikenal sebagai ‘amul huzn (tahun duka cita), karena Rasulullah saw waktu itu ditinggal wafat oleh istri tercinta Khadijah ra. pendukung utama perjuangan beliau dalam berdakwah, juga oleh paman beliau yang meskipun belum masuk islam tapi sangat berjasa dalam membela beliau dari gangguan kafir quraisy. Sehingga pada saat itu tekanan fisik maupun psikologis beliau rasakan, karena celaan dari kafir Quraiys yang bertubi-tubi mengarah kearah beliau, hal ini mengakibatkan perjuangan beliau semakin berat, dan beliau seolah-olah kehilangan pegangan, kehilangan arah, dan pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas. Dalam situasi seperti inilah, rupanya “rahmat” Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala sesuatunya. Ketika Beliau saw di suatu malam merintih kepedihan kepada Pemilik Kesenangan dan Kegetiran atas kepahitan langkah perjuangan yang beliau hadapi, tiba-tiba beliau diajak jalan-jalan (saraa) oleh Malaikat Jibril menelusuri napak tilas para pejuang sebelumnya (para nabi-red), dan ini menjadi suatu hiburan bagi nabi Muhammad saw agar tidak larut dalam duka cita, dengan rihlah imaniah (perjalanan yang penuh nuansa iman) ke Masjidil Aqsho di Palestina dan selanjutnya ke Sidratul Muntaha di langit yang tinggi. Bahkan, beliau saw bisa melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di “Sidartul Muntaha”. Sungguh sebuah kesejukan yang menyiram keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan inilah masanya bagi Rasulullah saw untuk kembali menenangkan jiwa, memantapkan tekad, menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke depan dalam menyiarkan agama Allah. Diceritakan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah saw menunggangi buroq yaitu jenis binatang yang lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari unta, binatang ini berjalan dengan langkah sejauh mata memandang. Dan dalam perjalanan tersebut Allah SWT memperlihatkan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya, seperti gambaran balasan di surga bagi orang-orang yang melakukan kebajikan serta berbagai gambaran siksaan di neraka karena kedurhakaannya kepada Allah dan Utusan-Nya. Dengan demikian Rasulullah saw telah mencapai derajat iman musyahadah (), bukan hanya iman teoritis. Kemantapan iman inilah yang harus diraih oleh umat Islam waktu itu sebelum mereka melaksanakan hijrah dan jihad membangun masyarakat dan perdaban Islam di Madinah. Disebutkan pula bahwa Rasulullah saw memasuki masjid Al-Aqsha kemudian shalat dua rakaat didalamnya, lalu Malaikat Jibril datang kepadanya seraya membawa segelas khamr (semisal minuman keras) dan segelas susu. dengan sigap Rasulullah saw mengambil gelas yang berisikan susu, minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan, dan menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat intelektualitas ke dasar yang paling rendah. Hal ini merupakan isyarat secara simbolik bahwa Islam adalah agama fitrah, yaitu agama yang seluruh hukumnya sesuai dengan fitrah manusia. Faktor inilah yang menjadi rahasia mengapa Islam begitu cepat tersebar dan diterima oleh manusia, sebab betapapun tingginya budaya dan peradaban manusia, dan betapapun manusia telah mereguk kebahagiaan material, tetapi ia akan tetap membutuhkan tuntutan pemenuhan fitrahnya. Dan Islam adalah agama yang memenuhi semua itu. Satu kejadian penting dan menarik dalam Isra’ Mi’raj adalah diangkatnya Rasulullah saw sebagai imam shalat bagi para nabi di Masjid al-Aqsha. Kisah ini mengisyaratkan bahwa para Nabi menyerahkan estafet risalah kenabian kepada Nabi Muhammad saw. Inilah keyakinan Islam, berdasarkan berita-berita yang shahih. Setiap muslim pasti meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama wahyu setelah Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul, sebab memang hanya beliau saja yang melanjutkan risalah Tauhid yang dibawa oleh para nabi terdahulu. Karena itulah, Rasulullah saw diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengajak kaum Yahudi dan Nasrani agar kembali kepada kalimah yang sama (kalimatin sawa’), yakni hanya menyembah Allah SWT semata dan tidak menserikatkan-Nya dengan yang lain. (QS 3:64). Ketika Rasulullah saw naik ke langit pertama, kedua, ketiga dan sampai ke Sidratul Muntaha, pintu-pintu langit itu terbuka untuknya, hingga kemudian beliau membawa risalah dari Allah SWT yaitu diwajibkannya shalat lima waktu. Shalat yang semula diwajibkan lima puluh waktu, tapi Nabi Muhammad saw senantiasa minta keringanan untuk umatnya, sehingga dijadikannya lima waktu. Namun demikian, walaupun yang diwajibkan lima waktu saja, tetapi Subhanallah pahalanya tetap seperti lima puluh waktu, karena perbuatan baik itu akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Hanya kepada Allah lah kita ucapkan puji dan syukur atas segala nikmat-Nya. Keesokan harinya, Rasulullah saw menceritakan apa yang telah terjadi pada diri beliau kepada penduduk makkah, tetapi mereka ada yang tidak beriman seperti Abu Jahal dan pengikut-pengikutnya. Mereka menggunakan peristiwa ini untuk menjatuhkan nama baik Nabi Muhammad saw dengan menuduh bahwa beliau seorang pendusta dan berbagai tuduhan keji lainnya. Sehingga sebagian dari Mereka menantang Rasulullah saw untuk menggambarkan Baitul Maqdis, jika benar apa yang beliau katakan. Kemudian Allah SWT memperlihatkan bentuk dan gambar Baitul Maqdis dihadapan Nabi Muhammad saw, sehingga dengan mudah beliau menjelaskannya dengan detail dan jelas. DR. Said Romadlon Al-Buthi berkata di dalam kitab karangannya fiqh siroh: “Banyak penulis yang menggambarkan kehidupan Rasulullah saw seperti kehidupan manusia biasa, jauh dari hal-hal yang luar biasa dan mukjizat, dengan berdalil pada firman Allah SWT : “…katakanlah, mukjizat-mukjizat itu hanya ada padasisi Allah SWT…” (QS. Al-An’am:109). Pemikiran seperti itu memberi kesan bahwa kehidupan Nabi Muhammad saw sangat jauh dari mukjizat dan bukti-bukti kenabian beliau, dan kalau kita cermati lebih mendalam sumber pemikiran mereka ini berasal dari sebagian orientalis dan peneliti asing, seperti Gustav Lobon, August Comte, dan Goldzieher, dan teman-temannya. Pemikiran ini disebabkan karena tidak adanya keimanan didalam hati mereka, dan yang paling tragis yang sangat disayangkan pemikiran ini diadopsi oleh sebagian pemikir muda muslim seperti Syeikh Muhammad Abduh, Muhammad Farid Wajdi dan Husain Haikal. Mereka menyebarkan pemikiran ini karena terpedaya oleh kelicikan kaum orientalis, tipu daya musuh, serta kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa dan Barat.Kemudian pemikiran yang mereka kemukakan dijadikan alat ghazwul fikr (perang pemikiran), dan menimbulkan keraguan umat Islam dalam agamanya. Ketika mereka memberikan sifat-sifat tertentu kepada Rasulullah saw, seperti heroik, jenius, pahlawan, dan pemimpin, serta sifat-sifat lainnya yang menakjubkan, secara tidak langsung mereka menggambarkan kehidupan umum Nabi saw sangat jauh dari mukjizat dan bukti kenabian beliau. Mereka hanya ingin menamakan Nabi saw dengan sifat-sifat tersebut, tapi tidak dengan sifat-sifat yang menggambarkan bahwa nabi Muhammad saw adalah seorang nabi dan rasul, sebab semua hakekat kenabian dan segala hal yang berkaitan dengannya telah dibuang oleh mereka, melalui penonjolan istilah-istilah tersebut seperti jenius dan pahlawan yang jauh dari mukjizat, yang kemudian mereka kemas dalam bentuk mitologi dan dongeng-dongeng yang sudah usang, karena mereka menyadari bahwa fenomena wahyu dan kenabian merupakan puncak kemukjizatan. Mereka ingin agar muncul anggapan dalam diri kita bahwa kemajuan dakwah Rasulullah saw dan banyaknya pengikut yang setia kepada beliau disebabkan karena faktor kejeniusan dan kepahlawanan beliau, bukan karena beliau adalah seorang nabi dan rasul, dan keinginan mereka sangat nampak jelas ketika mereka memasarkan istilah “muhammadanist” sebagai ganti dari “muslimin”. Pemikiran mereka (meniadakan mukjizat dalam diri nabi Muhammad saw) bisa kita bantah, karena kalau kita cermati fenomena wahyu dalam kehidupan Nabi saw, maka akan nampak jelas bahwa sifat yang paling menonjol dalam kehidupan beliau adalah sifat kenabian, kita tidak bisa meniadakan sifat kenabian dalam kehidupan beliau, kecuali dengan menghancurkan makna kenabian itu sendiri dari kehidupan beliau. Dan jika kita perhatikan sejarah kehidupan Rasulullah saw, maka kita akan tahu bahwa mukjizat-mukjizat yang Allah SWT berikan kepada beliau kebenarannya tidak bisa diragukan lagi, karena peristiwa-peristiwa mukjizat tersebut diriwayatkan kepada kita dengan sanad yang shahih dan mutawatir yang mencapai tingkatan pasti dan yakin. Diantara peristiwa itu adalah isra’ dan mi’raj Nabi saw. Jumhur ulama’ (kebanyakan dariorang-orang ‘alim) baik khalaf maupun salaf sepakat bahwa perjalanan ini dilakukan oleh Rasulullah saw dengan jasad dan ruh. Imam Nawawi berkata dalam kitabnya Syarh Al-Muslim “pendapat yang benar menurut kebanyakan kaum muslim, ulama salaf, fuqaha (ahli fiqh), ahli hadits, dan ahli ilmu tauhid, adalah bahwa Nabi saw diisra’kan dengan jasad dan ruh. Semua nash (perkataan) menunjukkan bahwa Rasulullah saw diisra’kan dengan jasad dan ruh, dan tidak boleh ditakwil dari arti dhohirnya kecuali dengan dalil.” Dalil paling jelas yang menunjukkan bahwa isra’ dan mi’raj Nabi saw dilakukan dengan jasad dan ruh, adalah sikap kaum Quraisy yang menentang keras kebenaran peristiwa ini. Karena kalau seandainya hanya melalui mimpi, kemudian Nabi saw dapat menceritakan kepada mereka sedemikian detail pertanyaan dari mereka, niscaya tidak akan timbul keberanian dan pengingkaran dari mereka, sebab penglihatan dalam mimpi tidak ada batasnya, bahkan mimpi seperti itu bisa dialami oleh siapa saja, baik orang muslim atau orang kafir. Dan seandainya peristiwa itu hanya dilakukan oleh ruh saja, niscaya mereka tidak akan bertanya mengenai gambaran Baitull Maqdis untuk memastikan dan menentangnya. Wallahu a’lam… Oleh: Wildia Nusaifi (Mahasiswi tingkat 3, Fak. Dirosah Islamiah, Univ. Al-Ahgaff)
No responses yet