Wanita dalam berbagai sisi kehidupannya menjadi sangat menarik untuk ditinjau dan diambil pelajarannya. Salah satu yang menarik dari kehidupan wanita adalah adanya masa transisi dalam fase kehidupannya. Apakah masa transisi dalam kehidupan wanita itu sebenarnya? Adalah ketika mereka ‘berpindah tangan’, yang dari awalnya mereka menjadi tanggung jawab dan hak penuh atas orang tuanya, namun setelah sebuah ikrar suci diucapkan, wanita menjadi tanggung jawab penuh seorang lelaki asing, yang bahkan mungkin belum dikenal sebelumnya.
Berdasarkan pengalaman pribadi dan cerita-cerita langsung dari teman–teman yang mengalami sendiri bagaimana melalui masa transisi dari seorang perempuan yang memiliki kehidupannya sendiri, sampai akhirnya ia menjadi bagian penting dalam kehidupan suaminya, pun begitu suaminya juga menjadi orang terpenting dalam kehidupannya, saya terdorong untuk mengabadikan perasaan yang pernah terlintas ketika menghadapi masa-masa transisi tersebut.
Pernikahan merupakan suatu hal yang didamba oleh kaum Hawa, apalagi ketika mereka telah menginjak umur remaja menjelang dewasa. Khususnya ketika mulai mengenal cinta, tertarik pada lawan jenis, namun di sisi lain kita tahu bahwa ada aturan dalam islam yang mengatur cinta itu, yaitu dengan pernikahan. Tapi pernikahan tidak semudah mengucapkan akadnya saja, setelah akad itu akan ada kewajiban dan tugas baru yang lebih berat, yang benar-benar butuh perhatian lebih dari seorang perempuan. Status pun berubah, menjadi seorang istri, lebih sempurna!
Biasanya kita sering menghayal dijemput oleh pangeran tampan, atau setidaknya berkhayal ada seorang lelaki tampan dan baik hati berlutut di depan kita, mengulurkan sebuah cincin emas, sambil bekata, “Will you marry me?!” so sweet!! Tapi kembali perlu kita ingat, bahwa pernikahan tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Ketika mendapat ide untuk menulis tentang masa transisi dalam kehidupan wanita ini, saya mulai sedikit flash back yang saya rasakan ketika hendak memasuki detik-detik yang begitu mendebarkan itu. Mungkin sebelum mendekati hari H, pernikahan bagi saya adalah hal yang saya idamkan. Memiliki pendamping hidup yang saya cintai dan mencintai saya, yang siap melindungi saya 24 jam nonstop, bisa terus membagi perhatian dan kasih sayangnya, yang menjadi lahan pengabdian dan ibadah bagi saya, tapi ketika mendekati waktunya, yang saya rasakan malah ketakutan dan rasa tidak siap. Dan ternyata tidak hanya saya yang merasakan perasaan seperti itu mendekati waktu pernikahan, namun ketika saya menanyakan perasaan teman-teman saya yang sudah menikah, mereka juga sama merasakan seperti itu! Kekhawatiran dan ketakutan begitu kuat melanda diri ketika menjelang pernikahan, juga perasaan tidak siap menjalani tugas sebagai seorang istri.
Mungkin itu yang merupakan masa tersulit sebelum kita betul-betul memasuki kehidupan yang berbeda yang dipenuhi dengan kebahagiaan. Pernikahan merubah segalanya! Sifat diri yang cuek, lebih memikirkan diri sendiri, bersikap kekanak-kanakan, malas, harus dipaksa untuk diubah 180 derajat. Ada orang lain yang istimewa yang menjadi bagian penting dalam kehidupan kita, yang harus benar-benar kita perhatikan dan kita penuhi segala kebutuhannya. Karena nabi Muhammad saw pernah bersabda kepada seorang wanita, “Bagaimana sikapmu terhadap suamimu?! Sesungguhnya ia adalah surga dan nerakamu!” (HR. an-Nasa’i dan Ahmad) Bahkan di lain kesempatan Nabi saw juga pernah bersabda, “Seandainya aku diperbolehkan memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, maka aku akan perintahkan perempuan bersujud kepada suaminya!” (HR. Tirmidzi) Sungguh suami memiliki tempat yang mulia dalam kehidupan istri.
Sekali lagi saya tidak bosan mengatakan, bahwa pernikahan memang merubah segalanya. Hanya dengan dua kalimatullah, bisa menjadikan yang haram menjadi halal, yang ma’shiat menjadi ibadah. Mungkin dalam era modern sekarang ini, menikah menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian kaum Hawa. Karena terbatasnya ‘ruang gerak’ mereka. Tapi batas-batas tersebut memang ditetapkan oleh islam karena betapa Allah menciptakan wanita dengan special. Fitrah wanita yang lemah lembut dengan tampilan yang indah menawan, sungguh sayang apabila diumbar begitu saja tanpa ada batasan-batasan yang melindungi. Dan dengan menikah, para wanita bisa mendapatkan perlindungan itu dengan juga menjunjung dirinya sebagai seorang istri. Maka, jangan main-main dalam memilih pasangan hidup. Karena dialah yang akan menghabiskan sisa waktu hidup bersama kita. Jangan hanya atas nama cinta yang masih belum halal, mampu membutakan kita dari pilihan terbaik yang telah disiapkan olehNya untuk kita.
Seharusnya, ketika menghadapi masa transisi ini, para wanita hendaknya banyak merenung dan belajar banyak akan tugas-tugas sebagai seorang istri. Menanggalkan keegoisan dan sifat childish dari diri kita. Pernikahan bukan hal main-main. Ia begitu sakral dan suci, semoga hanya terjadi satu kali seumur hidup kita.
Kalau boleh saya ibaratkan, pernikahan merupakan titik finish yang sejatinya adalah garis start. Titik finish, karena masa pencarian kita telah berakhir. Dan bagaimana titik finish itu kita capai, tergantung bagaimana usaha kita dalam mencapai titik finish tersebut. Harapan dan doa kita untuk bisa mendapatkan pasangan hidup yang terbaik, yang memiliki ilmu agama yang cukup, yang bisa terus melengkapi kekurangan kita dengan kelebihan-kelebihannya, di samping itu, ridlo orang tua juga merupakan hal penting dalam mendapatkan suami yang sholih. Ketika kita sudah melewati finish dengan baik, maka di waktu yang sama kita juga memulai start kehidupan baru, dan kini dengan pasangan baru yang mendampingi kita. Dan kehidupan baru setelah garis start ini yang menuntut kita untuk lebih dewasa dalam menjalaninya. Karena itulah ronde kehidupan sebenarnya.
Maka wajarlah, ketika melewati masa transisi ini, yang merupakan jembatan penghubung antara satu ronde kehidupan dengan ronde lainnya yang begitu berbeda, setiap wanita merasakan kekhawatiran dan ketakutan yang luar biasa. Perlu dorongan keyakinan yang bisa menghadirkan ketenangan dalam perasaannya.
Ketika melewati masa transisi ini, mungkin sebagian wanita ada yang memilih untuk merenung. Ya, memang sangat perlu bagi diri kita meluangkan waktu untuk berpikir lebih dalam lagi. Tentang pernikahan yang sudah di depan mata. Karena pernikahan merupakan hal yang suci, yang di dalamnya terdapat kemuliaan yang sangat besar. Kedudukannya dalam islam juga sangat tinggi, sampai Al Quran menyebutnya sebagai ‘miitsaaqan-ghaliza’ yang artinya perjanjian yang sangat berat.
Perlu diingat, bahwa proses menjelang akad nikah akan sangat mempengaruhi kehidupan suami istri kelak setelah menikah. Maka, pada masa transisi ini perlu sekali menjaga diri dari hal-hal yang merusak makna dan tujuan pernikahan yang suci. Niat perlu terus dihadirkan dan ditetapkan, sampai nanti ketika datang waktunya akad, kita bisa meniatkan pernikahan ini murni sebagai ibadah lillahi ta’laa.
Masa transisi menjelang pernikahan ini merupakan masa sensitif. Apa yang berlangsung selama masa ini dan bagaimana memaknainya, serta niat yang dihadirkan, akan sangat mempengaruhi bagaimana suami istri menghayati pernikahannya kelak.
Untuk para wanita yang masih belum melewati masa transisi ini, atau akan melewatinya, jangan hilangkan keyakinan yang sudah ada. Beri waktu khusus kepada diri ini untuk lebih merenung dan memaknai secara benar akan makna pernikahan yang akan dilangsungkan. Pernikahan bukan sekedar cinta monyet belaka, namun lebih dari itu, karena pernikahan dibangun dengan mawadda dan rahmah. Dan cinta di dalamnya, seperti yang dikatakan orang bijak, bahwa cinta bukanlah mencari pasangan yang sempurna, tetapi menerima pasangan kita dengan sempurna. Hal ini yang sangat perlu ditanam sejak awal dalam hati kita.
Terakhir, izinkan saya mengutip perkataan Ummul Mukminin, sy. Aisyah ra, “Pernikahan itu sangat sensitif dan tergantung kepada pribadi masing-masing untuk mendapatkan kemuliaannya.” Semoga Allah memberikan kemudahan pada tiap-tiap wanita muslimah dalam melewati masa transisi ini…amiin.
Wallahu a’lam,
Semoga bermanfaat
One response
Syukron ukht sangat inspiratif dan membantu. .