ppm miftahul khoir bandung

Dalam al-Quran, Allah Swt. berfirman, Maka berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya(QS Al-Ahzab [33]:41).

Dalam bahasa Sunda, zikir dikenal dengan istilah Wirid atau Wiridan. Aktivitas zikir lisan, seperti membaca kalimat Tasbih, Tahlil, Shalawat, atau membaca Istighfar, terbagi atas tiga tingkatan berdasarkan orang yang melakukannya, yaitu:
1. Zikir Mubtadi’
2. Zikir ‘Abid
3. Zikir Washil

Zikir Mubtadi’
Yaitu zikir orang yang baru belajar mendekatkan diri kepada Allah dan belajar membaca bacaan zikir. Ia berzikir karena ingin mendapatkan keuntungan dunia (‘Aradh al-dunya) dan berdoa supaya diberi rezeki. Ia melakukan zikir dan doa karena terdorong oleh kebutuhan dunia, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi kontak langsung dengan jiwanya. Lisannya lancar membaca zikir, tetapi hati tidak dapat mengikutinya. Bacaannya tidak dijiwai dengan hati yang tulus karena yang berzikir hanya sekadar lisan.

Biasanya, zikir Mubtadi’ senantiasa berubah (tidak Istiqamah) karena tujuannya agar apa yang ia inginkan dapat terwujud. Apabila semuanya tercapai, berakhirlah zikirnya sampai di sana. Selanjutnya, ia pun meninggalkan aktivitas zikir tersebut.

Zikir ‘Abid
Yaitu zikirnya orang yang tidak mengharapkan bagian di dunia. Dalam zikirnya, tidak ada udang di balik batu. Ia berzikir bukan untuk mengejar cita-cita dan keinginannya, melainkan hanya untuk beribadah. Namun, sayangnya ia tidak dapat menjiwai substansi zikirnya dan tidak bisa menghadirkan ketenteraman hati. Ia membaca zikir hanya sebatas belajar dan karena ia hafal bacaannya. Mungkin saja, jika tidak hafal, ia tidak akan melakukannya.

Orang yang melakukan zikir seperti ini, jika hatinya terlenakan urusan dunia, zikirnya termasuk zikir Mubtadi’ yang tidak akan mendapatkan pahala di akhirat. Apabila dalam berzikir hatinya tidak disibukkan dengan urusan dunia dan hanya mengejar pahala akhirat, ia akan mendapatkan pahala, meskipun zikirnya kurang sempurna karena isinya tidak dijiwai.

Zikir Washil
Zikir seperti ini memiliki cara (Kaifiyyah) tersendiri, yaitu adanya niat untuk mendekatkan diri (bertaqarrub) kepada Allah. Apa yang ia baca benar-benar lahir dari penjiwaan hati terhadapnya.

Cara yang harus kita tempuh untuk mencapai tingkatan Washil, yaitu:

  • Memahami dan mengerti isi yang dibaca.
  • Muhadharah, yaitu merasa dekat dengan Allah. Paling tidak, imannya berada pada tingkatan iman ‘iLm al-yaqin.
  • Tajalli, yaitu mengosongkan dan membersihkan hati dari perbuatan tercela (Radza’il) yang disertai dengan kekhusyukan ruhani kepada Allah.

Kita tidak akan mencapai tingkatan Washil jika kita tidak menempuh Tajalli terlebih dahulu. Sia-sia jika kita mengusahakan diri untuk sampai pada derajat Washil hanya dengan mengandalkan hafalan dan pemahaman terhadap isi bacaannya, tetapi hati kita tidak bersih dari perbuatan tercela. Sebab, zikir Washil terlebih mendahulukan jiwa daripada lisan karena ucapannya itu keluar dari jiwanya.

Bukan hati yang harus mengikuti bacaan (lisan), karena yang demikian adalah Hadits al-nafs (bisikan hati) sehingga belum sampai pada derajat Washil, baru pada tingkat ‘Abdil.

Kita tidak boleh memaksakan diri ber-Muhadharah dengan Allah karena itu adalah urusan Allah. Akan tetapi, jika berzikir, zikir kita harus murni keluar dari hati, harus dijiwai (khusyuk). Sekalipun tidak sampai pada tingkatan Washil, mungkin kita sudah mencapai tingkat ‘Abid. Kita tidak boleh merasa puas berada pada tingkat ‘Abid. Kita harus berusaha untuk sampai pada tingkatan Washil. Apabila tidak tercapai, kita tidak boleh memaksakan diri. Hal yang paling penting bukanlah tingkatannya, melainkan bagaimana bacaan zikir itu dapat bernilai ibadah dan dipahami maknanya oleh hati. Tidak apa-apa jika kita belum bisa sampai pada derajat Washil, tetapi usahakan kita tetap khusyuk.

Apabila ingin sampai pada tingkat Washilin, kita harus sering bergaul dengan orang-orang yang telah mencapai derajat Washilin. Pada akhirnya, lama-kelamaan, kita akan terbawa menjadi orang yang melakukan zikir Washil.

Dikutip dari buku : La Tahzan (Innallaha Ma`ana) – KH. Choer Affandi hal 89 -92

Categories:

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tweet oleh @mimkho_PPM
× Ada yang bisa kami bantu?