Oleh : Muhammad Anis Al Hilmi
Buletin Jumat Khoriul Kalam Edisi #7
Judulnya saja sudah memancing ya, Manajemen (bukan) Qolbu. Jadi begini, ini bukan topik yang sering dibahas, mungkin karena kurang gurih jadi tidak laris untuk disampaikan dalam forum-forum keagamaan. Sederhananya, topik yang dituliskan ini seputar pengelolaan keuangan. Uang, bagi kita-kita ini untuk mencarinya saja sudah sulit. Namun sejatinya, ketika sudah punya uang justru lebih sulit lagi. Sulitnya itu dalam urusan mengelola dan menahan diri dari membelanjakan uang tersebut secara berlebihan. Bukan ,cuma anak kecil yang kesulitan mengendalikan “nafsu” berbelanja, bagi anak yang berusia 30 tahun ke atas apalagi hehe.
Belum lagi adanya tuntutan zaman dan pergaulan. Beberapa kali kita dengar kasus seorang ABG mau saja merelakan keperawanannya demi mendapatkan uang segepok secara instan. Uang itu kemudian dibelikan gawai super canggih demi menjaga eksistensi dan gengsi si ABG tadi di tengah-tengah pergaulan. Atau kasus seorang pegawai yang terus-menerus tertekan karena teman-temannya yang lain sudah memiliki mobil (padahal bisa jadi masih kredit). Apalagi teman-temannya itu terus mengajak untuk mengikuti life style mereka. Jika tidak dari faktor eksternal, bisa juga dari faktor internal.
Misalnya, seseorang menjadi OKB atau orang kaya baru. Pada umumnya, orang yang seperti ini merasa bahwa harta yang sekarang ia miliki adalah untuk membalas segala kesengsaraan yang sebelumnya dia alami. Atau bisa jadi, karena tak cukup ilmu, maka dia belanjakan hartanya itu dengan suka-suka dan tanpa perhitungan cermat. Pikirnya, “kumaha engke wae lah”.
Padahal, seharusnya ketika kita hendak mengeluarkan uang untuk suatu benda/jasa, hendaklah bertanya kepada diri sendiri beberapa kali. Apakah ini hanya menuruti nafsu? Apakah ini benar-benar butuh? Kalaulah butuh, apakah harus beli sekarang?
Sebuah fakta mencengangkan datang dari orang kaya yang masih muda dalam dunia teknologi. Mark Zuckeberg, pendiri Facebook. Kabarnya dia bersama istrinya ini meskipun sudah bisa dibilang kaya, tapi hidup amat sederhana. Hanya berbusana kaos, celana sederhana, dan sering kali menggunakan sandal. Berangkat menuju kantor dengan bersepeda. Pernikahannya juga sangat sederhana, berbeda dengan para selebriti tanah air yang mengundang ribuan orang dan menggelar perhelatan secara jor-joran. Bisa jadi, Si Zuck ini lebih “santri” dari santri sekarang dalam urusan kesederhanaan dalam hidup. Sebab
seringkali santri di saat ia masih di pesantren memang hidup sederhana, namun ketika sudah keluar dari pondok, merasa bagai burung keluar dari sangkar. Merdeka! Yang tadinya ditahan sekarang malah dilakukan.
Sebetulnya, kami sebagai santri, dididik dan dibentuk untuk jadi manusia yang sederhana, mandiri, namun kuat untuk bertahan/survive dalam kondisi apapun. Kami ini (ya paling tidak untuk tetap menjaga kesederhanaan) masih membudayakan untuk mencuci sendiri, padahal di luar sana banyak tersedia layanan “binatu” atau bahasa kerennya laundry. Kiai Bisri Mustofa dari Rembang Jawa Tengah menyampaikan, “Jangan jadi orang kepinginan”. kalimat yang sederhana tapi susah untuk dilaksanakan. Nah, arti dari sederhana adalah berarti mengakomodasi apa yang diperlukan (saja) bagi kelangsungan hidup, bagi kepatutan bergaul, bagi meneguhkan kekuatan untuk mengabdi kepada Allah, masyarakat, keluarga (bangsa dan negara) serta bagi menjaga kepantasan dalam hubungan dengan posisi sosial. “Hemat” (atau jika boleh diganti dengan “sederhana”) yang oleh orang pesantren biasa digunakan untuk menerjemahkan tawassuth, adalah perilaku yang ada di antara israaf dan qatr, di antara royal dan kikir. Orang yang ada pada posisi tawassuth (menurut Al Qur’an) tidak akan terperosok dalam Jahannam.
Seperti yang Gusti Allah firmankan: Wal-laziina izaa anfaqu lam yusrifuu wa lam yaqturuu, wa kaana baina zaalika qawaamaa (Dan mereka apabila membelanjakan hartanya tidak berlebihan dan tidak ngirit/kikir. Dan adalah mereka berada di antara kedua perilaku itu dengan pasti). Q.S. (Al-Furqan:67)
One response
Menarik bahasannya.