Oleh : Fauzi Noerwenda, S.E.
Buletin Jumat Khoriul Kalam Edisi #7
Pernahkah kita melihat dan menyadari lebih dalam tentang diri kita? Apa yang kita lihat saat kita mencoba menyelaminya lebih dalam? Apakah sebuah penyesalan dan kekecewaan terhadap diri? Ataukah sebuah rasa syukur yang sangat dalam? Jawaban kita terhadap hal tersebut akan menentukan bagaimana diri kita memandang penciptaan diri sebagai manusia.
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang sangat sempurna. Hal tersebut Allah gambarkan dalam Q.S. At-tiin ayat 4 yang berbunyi “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Allah -subhanahu wata’ala- melengkapi manusia dengan berbagai macam senjata. Dari mulai panca indera, akal dan tentunya hati yang membuat kita bisa membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk.
Dalam hadist Arba’in Nawawi r.a yang artinya, “Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging dan jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.
Berbicara soal hati, selalu ada pergolakan antara hati dan nafsu. Nafsu itu ada yang baik dan buruk. Hanya saja, seringkali kita terbelenggu dengan nafsu yang buruk dan bergerak ke arah negatif. Hal itulah yang akhirnya menutupi mata hati kita. Tertutupnya hati membuat semua anugerah yang Allah -subhanahu wata’ala- berikan seakan tak terlihat. Terbukti dengan banyaknya orang yang mengatakan
“Allah gak adil, Allah gak ngasih saya rezeki” dan lainnya. Padahal Allah -subhanahu wata’ala- sudah hadirkan berbagai macam nikmat pada diri ini. Seperti ayat yang sangat indah tercantum berulang-ulang dalam Al Qur’an surat Ar-rahman yang berbunyi “Maka nikmat Tuhan-Mu manakah yang kamu dustakan?”
Ya Allah begitu besar nikmat yang Engkau berikan pada manusia. Lantas mengapa masih banyak orang yang tidak bersyukur? Diberi kemisikinan mengeluh. Diberi kekayaan malah sombong. Masihkah kita merasa seperti itu?
Ternyata rahasia utamanya ada pada pola pikir. Apakah kita selalu suudzon atau sebaliknya husnudzan?
Apa itu suudzan dan husnudzan? Suudzan itu berburuk sangka sedangkan husnudzan itu berbaik sangka. Bahasa kerennya itu negative thinking dan positive thinking. Sebagai seorang muslim kita harus selalu berhusnudzan. Cara pandang kitalah yang akan memudahkan kita dalam menghadapi setiap ujian yang Allah berikan.
Allah -subhanahu wata’ala- menguji setiap hamba-Nya dengan cara yang berbeda-beda. Entah dengan kemiskinan, kekayaan, kecerdasan atau lainnya. Yang jelas ujian itu Allah berikan untuk mengetahui bagaimana sikap kita dengan takdir Allah. Saat kita selalu suudzan, celakalah kita. Hingga kita akan terus merasa mengapa hidup ini sangat buruk dan tidak bahagia. Namun saat kita terus berhusnudzan, kita akan selalu bahagia. Mengapa? Karena kita yakin bahwa apapun yang Allah berikan adalah hal terbaik untuk kita. Dan memang benar, bahagia itu sederhana. Kunci kebahagiaan itu bernama husnudzan.
Menjadi pribadi yang mampu berhusnudzan memang berat. Akan selalu hadir tantangan yang membuat kita terus diuji dengan prinsip kita. Apalagi Imam al Ghozali mengatakan bahwa “Hati manusia itu sangat labil bahkan lebih labil dari ombak di lautan dan gelombang di samudera”. Maka agar hati ini selalu berhusnudzan adalah dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Allah –subhanahu wata’ala- yang Maha Membolak-balik hati manusia. Maka mintalah kepada Allah agar selalu meneguhkan hati kita dalam kebaikan.
Wallahu a’lam.
No responses yet